Korelasi Penundaan Pemilu dengan Politik Hukum Perlindungan Konsumen Sembako

    Korelasi Penundaan Pemilu dengan Politik Hukum Perlindungan Konsumen Sembako

    BANDUNG - Survey publik atas kabinet saat ini ironis dan berpotensi membuat logika berfikir masyarakat tersesatkan, ketika rakyat tengah kesusahan menghadapi kenaikan harga berbagai komoditas keperluan sehari-hari, Litbang Kompas menyatakan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin mencapai 73, 9 persen beberapa waktu lalu, saat harga melambung minyak goreng dan langka di pasaran, juga ketika masyarakat luas memprotes aturan JHT cair usia 56 tahun. Tidak hanya Litbang Kompas, lembaga survei Indikator Politik Indonesia juga mencatat hasil survei tingkat kepuasan publik kepada Jokowi sekitar 70 persen.

    Penghujung tahun 2021 sempat ditutup dengan lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Para pelaku pasar kesulitan atas kenaikan harga komoditas tersebut. Padahal, Indonesia merupakan lumbung sawit dan menjadi penghasil terbesar crude palm oil (CPO) di dunia. Meski pemerintah telah memberikan subsidi minyak goreng menjadi Rp14 ribu per liter, kelangkaan sampai saat ini (sekitar 4 bulan dan entah sampai kapan) masih ditemui di berbagai daerah bahkan di kota besar. Ini sebuah "prestasi besar" kelangkaan minyak goreng pasca reformasi bahkan sejak kemerdekaan. Kelangkaan minyak goreng diperparah dengan kemunculan kasus penimbunan yang tertangkap di berbagai daerah di Indonesia dan dugaan kuat adanya kartel.

    Sementara itu gelombang protes buruh dan mahasiswa tidak bisa dibendung akibat di masa paceklik ekonomi karena pandemi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan membatasi pencairan JHT hanya bisa dilakukan setelah peserta menginjak usia 56 tahun meski belakangan Presiden Jokowi disebut telah meminta aturan tersebut segera direvisi. Paradoks dengan kondisi di atas, saat ini diduga ada upaya serius dari para elit politik menggiring isu untuk meloloskan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Skenario itu sendiri sebelumnya telah disusun oleh Laboratorium Indonesia 2045 atau Lab 45 yang dipimpin oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Andi Widjajanto. Nantinya perpanjangan jabatan Presiden akan dilakukan melalui mekanisme berbasis kajian Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), padahal pemerintah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan DPR sudah memutuskan jadwal pelaksanaan pemilu pada 14 Februari 2024.

    Memang perpanjangan masa jabatan presiden bukan hal tabu untuk dibicarakan terlebih muncul konon karena adanya permintaan masyarakat, seperti aspirasi petani sawit, permintaan para pengusaha termasuk UMKM. Situasi pandemi, masalah global hingga hasil survei tingkat kepuasaan terhadap pemerintahan yang masih tinggi juga dijadikan alasan. Alasan lain adalah bahwa momentum perbaikan ekonomi akibat pandemi tidak boleh terganggu dengan adanya Pemilu.

    Alasan-alasan para elit partai tersebut (terutama "partai komorbid" atau "partai dalam rawat jalan KPK") sangat naif, tidak masuk akal, tidak mencerminkan ke negarawanan, berpotensi melakukan kebohongan publik dan tidak berpihak pada masyarakat yg tengah terbebani oleh naiknya bbrp komoditas kebutuhan hidup sehari2, sementara mereka nyaris tidak pernah bersuara memperjuangkan kesulitan masyarakat ini. Padahal upaya dari elite politik termasuk Presiden dan kabinetnya untuk membenahi ketersediaan pangan, seperti tahu tempe, daging sapi, daging ayam, telur, gula, gas elpiji, BBM, listrik dll (harga terjangkau dan tersedia), penyelesaian hak konsumen dari bbrp perusahaan asuransi, biaya/dana haji dan BPJS dijadikan syarat untuk memperoleh pelayanan publik jauh lebih penting sebagai bentuk komitmen negara masih menjunjung tinggi amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat.

    Penundaan pemilu hanya bisa dilakukan ketika negara dalam situasi darurat dan yang terjadi kondisi saat ini lebih ke masalah "darurat pangan" yang disebabkan kebijakan pangan itu sendiri. Dengan kata lain, keinginan memperpanjang masa jabatan presiden lewat penundaan pemilu telah digarap secara serius elite partai pemerintah. Skenario itu dibahas sejak tahun lalu. Keinginan menunda pemilu sudah menggelinding di lingkup internal DPR. Inilah kondisi bernegara di "State of Contradictions" yang konon dipimpin oleh "Man of Contradictions".

    Untuk rakyat boleh jadi penundaan pemilu silahkan saja (karena mungkin kurang begitu paham), tapi yang terpenting adalah soal kebutuhan pokok sehari-hari yang harus tersedia dan harganya terjangkau/murah. Kenyataannya kondisi saat ini tidak demikian, logikanya bagaimana mungkin rakyat akan mendukung penundaan pemilu/perpanjangan masa jabatan, kalau masalah sembako saja tidak bisa mengatasinya. Adalah sebuah prestasi jika pemerintah dan legislatif lebih fokus untuk dapat menekan harga2 agar tidak naik terutama saat menjelang bulan puasa dan lebaran tahun ini yang biasanya selalu terjadi setiap tahun.(***/MISG)

    By Dr. Firman T Endipradja, Dosen Politik Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan/Ketua Umum Himpunan Lembaga Konsumen Indonesia (HLKI) Jabar Banten DKI Jkt.

    Bandung jawa barat
    Anton atong sugandhi

    Anton atong sugandhi

    Artikel Sebelumnya

    Satuan Pol Airud Polres Ciamis Secara Masif...

    Artikel Berikutnya

    Amin

    Berita terkait